Didin Sudirman |
Jakarta, Rabu-25-2015 – Sekretaris Jenderal Forum
Pemerhati Pemasyarakatan, Dindin Sudirman, ikut angkat bicara mengenai
pro dan kontra pemberian remisi bagi terpidana korupsi. Menurut Dindin,
isu ini menyeruak ke publik karena adanya perbedaan ilmu dan paradigma
yang dipakai sebagai konstruksi berpikir diantara pihak yang pro dan
kontra.
“Pihak yang setuju pemberian remisi melihatnya dari sudut pandang
kriminologi dan penologi aliran moden. Sementara mereka yang menolak
lebih menggunakan hukum pidana aliran klasik (retributif/deterrence),” jelas Dindin saat dihubungi INFO_PAS, Rabu (18/3).
Padahal secara substansial, Dindin menambahkan, kini telah terjadi
pergeseran posisi ilmu pelaksanaan pidana karena adanya tujuan perubahan
tujuan pidana. “Dulu ketika tujuan pidana hanya sebagai retributif dan
penjeraan, maka hukum pelaksanaan pidana menjadi tidak terpisahkan dari
hukum pidana. Akan tetapi ketika tujuan pemidanaan tersebut dicirikan punishment dan treatment,
maka kedudukan hukum pelaksanaan pidana bergeser, tidak lagi menjadi
bagian hukum pidana, tetapi menjadi hukum administrasi negara,” ucap
Dindin yang pernah menjabat Sekretaris Direktorat Jenderal
Pemasyarakatan ini.
Alumni Akademi Ilmu Pemasyarakatan Angkatan ke-8 ini menyebut
fenomena ini bisa dibuktikan dengan ditetapkannya Undang-Undang
Pemasyarakatan (UU PAS) sebagai aturan yang kedudukan hukumnya sejajar
dengan KUHP menggantikan Reglemen Penjara yang merupakan operasional
pasal 29 KUHP.
“Ketika rezim hukumnya berbeda, maka prinsip dan asasnya pun berbeda. Disamping itu, prosesnya pun berbeda. Proses punishment berada di area pra ajudikasi dan ajudikasi, sedangkan treatment ada di area post ajudikasi,” tambah Dindin.
Ia juga menjelaskan bahwa area punishment tunduk kepada asas-assa penegakan hukum yang diatur dalam KUHAP dan KUHP, sedangkan area treatment tunduk
kepada UU PAS yang juga harus tunduk kepada kecenderungan internasional
SMR karena Indonesia telah meratifikasi kovenan/konvensi internasional
yang terkait dengan hal tersebut.
“Jadi ketika ada yang berpendapat bahwa pemberatan hukuman kepada
para koruptor dapat dilakukan dengan mempersulit pengurangan remisi, itu
adalah tindakan salah alamat. Justru untuk itulah UU Tindak Pidana
Korupsi pasal 18d memungkinkan pemberatan dengan memberikan hukuman
tambahan, termasuk pencabutan hak yang sudah dan akan diberikan kepada
narapidana,” tuturnya.
Ia menyayangkan telah terjadinya kesalahan konstruksi berpikir para
penentang Menteri Hukum dan HAM yang mewacanakan pemberian remisi.
“Bahkan kesalahan sudut pandang ini juga dilakukan para kreator
Peraturan Pemerintah No. 99/2012 yang justru merupakan para ahli hukum
tata negara,” pungkas Dindin
Sumber : Pemasyarakatan.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar